sang pemimpi

Izinkan saya membuka cerita dengan kisah penyair Taufik Ismail ketika pulang kampung ke ranah Melayu, Sumatera Barat. Dari Jakarta, Taufik turun di Bandara Tabing, Kota Padang. Dari Padang, Taufik menaiki bus umum menuju Kota Bukittinggi, tempat dia dilahirkan 74 tahun lalu. Penyair ini mengeluarkan buku, lalu membaca. Syahdan, selama dua jam lebih perjalanan, penumpang yang lain memilih tidur, mengobrol satu sama lain, melamun atau menyalakan rokok. Tak ada yang membaca selain Taufik.

Membaca memang bukan tradisi tanah Melayu. Bahasa lisan lebih penting daripada tulisan. Melayu meminjam aksara dari Latin, Arab, Pallawa dan Sanskrit. Cerita disebar dari mulut ke mulut, dari kedai ke kedai, bukan dari buku ke buku atau koran ke koran. Bahasa bagi Melayu tak mengenal masa lalu dan masa depan. Sejarah dituang dalam tambo dan hikayat. Semua adalah kekinian, yang relatif, yang bisa diperdebatkan di kedai kopi.

Bahkan kata Melayu itu sendiri juga relatif. Melayu dipakai sebagai kata lain bagi rakyat yang tersebar di sekitar Selat Malaka dan Laut Indo China. Melayu adalah kata umum bagi rakyat yang hidup mulai dari Aceh, Minangkabau, Belitung sampai ke kepulauan Moro di Filipina. Di Indonesia, orang Jawa dianggap bukan Melayu, sementara di Malaysia, semua orang yang keturunan Indonesia dianggap Melayu.

Namun tak semua orang yang hidup di bentangan alam itu Melayu. Ada keturunan China, India, dan Arab. Ada stereotipe muncul, tersematkan pada masing-masingnya. Melayu diasosiasikan dengan kemalasan. Sarapan di kedai kopi, siang pergi sebentar ke kebun dan sore sudah kembali ke kedai kopi. Bahkan Bupati Belitung Timur, tempat kisah "Sang Pemimpi" berakar, mencanangkan kabupatennya sebagai Kabupaten 1.001 Kedai Kopi. Belitung Timur pun sudah meraih rekor Muri, peminum kopi susu terbanyak secara serentak di Indonesia!

***

"Saya bersikap keras, karena saya tak ingin mereka menjadi pengkhayal," kata Bustar, kepala sekolah SMA Negeri Manggar, Belitung Timur, dalam film "Sang Pemimpi". "Orang sudah menjelajah ke seluruh dunia, sementara orang Melayu menghabiskan waktu mengoceh di kedai kopi," ujar Bustar yang diperankan penyair Landung Simatupang itu. "Saya tak ingin mereka seperti itu."

Jadilah Bustar, pengajar ilmu pasti, sebagai guru yang paling ditakuti Ikal, Arai, dan Jimbron, tiga lakon utama dalam sekuel "Laskar Pelangi" itu. Begitu Bustar masuk dalam kelas, semua terdiam. Suara Bustar menggelegar, tak bisa sabar dengan kebodohan murid-muridnya. Jimbron yang penggugup pun semakin gugup.

Arai dan Jimbron adalah anak sebatang kara karena ditinggal mati orang tua. Sementara Ikal harus tinggal jauh dari orang tua karena di kampungnya tak ada sekolah menengah. Mereka bertiga bersama-sama menghabiskan waktu, sekolah, bermain, dan bekerja di tempat sama. Arai jatuh cinta ada Zakiah Nurmala, teman sekelasnya, sementara Jimbron terpesona pada Laksmi, seorang gadis sebatang kara yang bekerja di pabrik cincau.

Namun sekolah tetap menarik bagi mereka. Ada guru bernama Balia (Nugie) yang membuat sekolah menjadi menyenangkan. Balia membuat Ikal dan Arai yang bersepupu ini menjadi tergila-gila dengan kata-kata. "Telusuri Afrika, jelajahi Eropa, lalu berujung di altar ilmu, Sorbonne, Paris," kata Balia.

Kata-kata Balia itu bak mantra sihir. Pulang sekolah, mereka menghabiskan waktu di pelabuhan Manggar, membantu seorang tauke ikan dengan dibayar. Malam hari, mereka mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama-sama. Mereka mulai menabung. "Kita harus sekolah ke Paris," kata Arai kepada Ikal. "Tapi kita harus kuliah dulu di Jakarta," Arai menyeruput kopi yang mereka bikin sendiri di rumah kontrakan di dekat sekolah. Hanya itu satu-satunya adegan Ikal dan Arai minum kopi, tapi bukan di kedai kopi.

Sebagai anak muda, gairah dan emosi naik-turun mereka alami. Cinta Arai kepada Zakiah membuatnya belajar musik, pengiring lagu. Sementara Ikal yang terobsesi dengan Paris, hampir melupakan janjinya sendiri kepada ayahnya, pekerja rendahan di Perusahaan Negara Timah. Namun akhirnya, satu-satu kesulitan hidup mereka selesaikan. Dan cita-cita terus menggumpal di kepala.

***

Film "Sang Pemimpi" yang disutradarai Riri Riza ini bisa ditonton sebagai film yang berdiri sendiri. Cerita ditampilkan secara flash back, ketika Ikal, yang sudah lulus di Universitas Indonesia bekerja di sebuah Kantor Pos. "Sebuah pekerjaan yang tidak saya sukai karena saya tak suka tukang pos," katanya. Namun tak dinyana, Ikal justru bekerja sebagai tukang pos. "Ini akibat mimpi-mimpi si brengsek Arai," ujar Ikal dewasa yang diperankan Lukman Sardi itu. Lalu cerita pun mundur ke belakang, mengenang awal perkenalan Ikal dengan Arai, sampai mereka sama-sama masuk SMA di Manggar.

Ikal dan Arai diceritakan bisa sampai ke Jakarta, pelabuhan mereka mencapai cita-cita melanglang ke Eropa. Namun cita-cita tak mudah mereka peroleh begitu saja. Lulus dari universitas bergengsi di Indonesia bukan jaminan bagi mereka memperoleh pekerjaan yang dicita-citakan. Ikal terpaksa bekerja menjadi tukang pos yang dibencinya. Sementara Arai sejak lulus dari Biologi UI (diperankan Ariel Peterpan) terpaksa memakan tabungan karena tak kunjung mendapatkan satu pekerjaan lowong di Jakarta. Lalu Arai menghilang tak ada kabar dari rumah kontrakan mereka berdua.

Namun akhirnya "Sang Pemimpi" menunjukkan cita-cita tak bisa hanya diucapkan di mulut saja. Cita-cita, sesederhana atau setinggi apapun, harus diwujudkan dengan kerja keras. Cita-cita tak bisa diperoleh dari duduk-duduk di kedai kopi.

0 komentar: